A. Latar Belakang Masalah
Pemekaran daerah adalah salah satu cara pembentukan daerah seperti di atur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( untuk selanjutnya Undang-Undang ini di sebut sebagai Undang-Undang Pemerintah Daerah ). Di dalam pasal 4 ayat 3 undang-undang tersebut dikatakan bahwa “ pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Atau dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah sebagai salah satu cara untuk membentuk daerah baru. Karena disamping pemekaran masih ada satu lagi cara yang bisa digunakan untuk membentuk daerah batu yaitu penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersanding satu daerah.
Penggabungan daerah pada prakterknya tidak pernah menimbulkan masalah karena pelaksanaan dari peraturan hukum tersebut tidak pernah terjadi[1]. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pembentukan daerah dengan jalan pemekaran dari satu daerah atau bagian daerah menjadi dua daerah atau lebih[2]. Pelaksanaan pemekaran justru meninggalkan banyak masalah[3] dari pada cerita sukses yang di hasilkan dari pemekaran daerah tersebut[4]. Bank Dunia menyimpulkan ada empat faktor yang menyebabkan mengapa pemekaran marak terjadi : (1) kecendrungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan, dan lain-lain), (2) adanya kemajuan fiskal yang dijamin oleh undang-undang, (3) motif untuk efektivitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan, dan (4) adanya motif pemburu rente (bureaucratic and political rent-seeking) para elit.[5]
Apabila di petakan masalah yang ada, menurut data departemen dalam negeri (depdagri) tahun 2006 masalah itu bisa dibagi kedalam tiga wilayah. Pertama masalah yang terjadi di daerah induk pemekaran, masalah pemekaran yang sering terjadi di daerah induk adalah belum terselesaikanya P3D ( pembiayaan, personil, peralatan dan dokumen ). Tidak kurang dari 89,48 persen dari daerah induk yang belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonom baru. Dan 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran[6]. Kedua masalah daerah pemekaran, pada daerah pemekaran masalah yang sering terjadi diantaranya adalah terkendalanya persoaln pembiayaan, personil, peralatan dan dokumen yang masih tertahan pada daerah induk,[7] dan juga masih banyak masalah-masalah yang lain seperti belum adanya batasan wilayah yang jelas. Ketiga masalah pemerintah pusat, sebagai pengendali keuangan Negara, pemerintah pusat atas adanya pendanaan untuk pemekaran daerah acukup terasa memberatkan anggara pendapatan dan belanja negara (APBN). Terbebaninya keuangan negara ini bisa dibenarkan berdasarkan catatan APBN antara tahun 2000-2004 dana yang dialokasikan untuk belanja daerah harus meningkat dari tahun ketahun[8]. Sedangkan pada Tahun 2006 sendiri diperkirakan 250 triliun rupiah atau kira-kira 20% dari PDB telah di alirkan dari pemerintah pusat ke daerah pemekaran[9].
Dari beberapa permasalahan tersebut banyak dilakukan penelitian, harapannya supaya problematika yang dihadapi masyarakat sebagai dampak pemekaran daerah bisa mendapatkan solusi. Hasilnya, beberapa peneliti sedikti memberikan titik terang dan berhasil menunjukkan penyebab utamanya adalah karena memang tidak adanya persiapan yang dilakukan oleh pemerintah daerah ( khususnya daerah induk ) sebelum daerah tersebut dimekarkan.[10] Selain itu, besarnya peluang terjadinya politisasi hokum di dalam tahapan pemgambilan kebijakan pemekaran daerah itu merupakan sebab lain yang kurang mendapatkan perhatian[11].
Gejala ini bisa dilihat dari tahapan ini yang dilakukan daerah sampai pada tahapan pengambilan kebijakan di tingkat pusat. Pada tahapan inisiasi, proses lobi, manufer politik sampai gerakan masa adalah suatu cara yang paling sering terjadi untuk mengegokan inisiasi pemekaran daerah[12]. Sedangkan pada tahapan yang lebih lanjut ( tahap pengambilan kebijakan ), pengusul sering memainkan kelemahan posisi eksekutif dan beralih ke legislative menyetujui pembentukan daerah baru[13]. Banyak pengusul dari ke tangan DPR supaya memperjuangkan usulan pemekaran daerah baru hanya karena telah di tolak mentri dalam negeri selaku Wakil Presiden[14]. Sehingga akibatnya kebijakan pemekaran daerah telah membelokkan tujuan otonomi daerah sendiri ( meningkatkan kesejahteraan, keadilan bagi seluruh rakyat dan demokarasi )[15].
Robet Endi Jaweng ( peneliti pemantau pelaksana otonomi daerah ) di dalam menanggapi permasalahan tersebut mengatakan masalah pemekaran daerah bukan hanya persyaratan pemekaran, tetapi juga prosedur pengusulan pemekaran daerah. Bahkan dia menegaskan “ prosedur pengusulan pemekaran itu malah tak diatur. Seharusnya, untuk menjamin obyektivitas, maka prosedur usulan calon daerah hanya satu pintu, yaitu depdagri, “ tidak seperti saat ini pemekaran daerah bisa dilakukan melalui tiga pintu yaitu depdagri, DPR, dan DPD[16].
Kondisi ini tentunya bertentangan dengan apa yang dikatakan menyangkut tujuan pembentukan pemerintah daerah. Menurutnya ada dua alasan pokok dari kebijakansanaan membentuk pemerintahan di daerah. Pertama, membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagain kepentingannya yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberikan kesempatan kepada masing-masing kemunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk aturan dan programnya sendiri[17].
Mensikapi berbagai kritik dan hasil penelitian yang dilakukan, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, diantaranya memperketat persyaratan pemekaran daerah yaitu dengan mengganti peraturan pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 ( PP No.129/2000 ) dengan PP No 78 tahun 2007 tantang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran ( PP No.78/2007), pengahapusan dan penggabungan daerah. Serta adanya upanya untuk menghentikan sementara ( moratorium pemekaran ) kebijakan pemekaran daerah[18]. Namun, sayangnya banyak kalangan menilai bahwa kebijakan itu hanya kebijakan yang sia-sia. Karena kebijakan tersebut pada satu sisi tidak mampu menyentuh akar persoalan yang ada. Sedangkan pada sisi yang lain kebijakan tersebut tetap memberikan peluang terhadap pemekaran daerah.
[1] Sejauh pemeriksaan yang dilakukan penulis, belum ditemukan terjadi praktek penggabungan beberapa daerah atau baigan daerah yang bersanding menjadi satu daerah.
[2] Tercatat dari tahun 1999-2009, Indonesia memiliki 530 Daerah Otonom, terdiri atas 33 Provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif, dan 1 kabupaten administrative. Selama 1999-2009 terbentuk 205 daerah otonom baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah lebih dari 63 persen dibandingkan dengan jumlah daerah otonom di akhir masa orde baru htp/www.tigapilar.org
[3] Beberapa masalah itu misalnya, (1) konflik dengan kekerasan (2) menurunnya jumlah penduduk secara dan PAD secara drastis (3) menyempitnya luas wilayah dan beberapa daerah induk (4) perebutan wilayah dan ibu kota pemekaran dan (5) perebutan asset baca : cahyo pemungkas, pemekaran wilayah otonomi daerah dan desentralisasi politik di Indonesia, Peper, Jakarta, Mei 2007.
[4] Cerita sukses yang bisa di lihat dari pemekaran daerah misalnya pada propinsi banten, gorontalo, dan juga Maluku utara. Sedangkan untuk cerita sukses kabupaten / kota bisa dilihat di beberapa daerah yang ada di Kalimantan. Cerita sukses ini didasarkan pada adanya peningkatan pelayanan public dan juga menipisnya etang kendali dan peningkatan terhadap kesejahteraan rakyat. Baca : http://www.p2p LIPI.com
[5] Fitri Fitriani, Bert Holfman, kai Kaiser,” unity in diversity? The creation of new local government in A Dacentralinsing Indonesia”. Artikel padajurnal bulletin of Indonesia economic studies, Edisi No.1 Vol. 41, 2005, Hal.57-79. Lihat pula Kompas, 30 April 2010.
[6] Sumber : Departemen Dalam Negeri, 2007
[7] Seperti yang terjadi di kota Serang pada akhir Tahun 2009 kemaren, bahwa gaji pegawai negeri yang ke 13 tidak bis dibayar, karena DAU yang tersedia terbatas sekaligus tidak adanya bantuan dana dari kebupaten induk, Kompas, 5 Agustus 2009.
[8] Pemekaran Daerah : Kesejahteraan atau Beban?, Artikel pada Jurnal Update Indonesia Vol. 02, 2006, Hal 17.
9 Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah : Politik Local & Beberapa Isu Terseleksi, Ctk. Pertama, Pustak Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hal.21.
[10]Silakan lihat Badan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bekerja Sama Dengan Unitednations Development Programme (UNDP), Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, BRIDGE (building and reinventing decentralized goverbabce), 2008.
[11] Kompas, 30 April 2010.
[12] Kasus strategis yang menimpa Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD Provinsi Sumatra Utara, seyogyanya dapat di jadikan sebagai pelajaran berharga untuk melakukan repleksi atas kebijakan pemekaran daerah yang berlangsung sejauh ini. Abdul Aziz (alm), meninggal dunia pada hari selasa, 3 Februari 2008, lantaran adanya tindakan anarkis yang dilakukan ribuan masa di gedung DPRD Provinsi Sumatra Utara (Sumut) yang menuntut percepatan pemekaran Provinsi Tapanui, harian umum Pelita, Edisi Kamis, 29 April 2010. Selain itu patut pula untuk disimak kasus Pemerian insentif bagi tim sukses pemekaran wilayah Papua Barat, dimana tercatat dana yang di gunakan adalah dana APBN dan masing-masing tim sukses yang bisa mendapat persetujuan DPR mendapatkan insentif Rp 75 juta rupiah. Berapa tentunya yang di dapatkan anggota DPR?. Subardi, KEBIJAKAN DAN DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH/ALIH FUNGSI LAHAR TERHADAP LAJU KEHILANGAN HUTAN, Peper, tanpa tanggal…..
[13] Lemahnya posisi eksekutif jelas di dalam undang-undang dasar 1945 pasal 20 ayat 1 UUD 1945 dan ini dipertegas oleh bunyi pasal 5 UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
[14] Hal ini ditegaskan oleh Tri Ratnawati bahwa pemekaran daerah yang bermasalah merupakan pemekaran daerah yang diusulkan melalui pintu DPR. Karena DPR memberi waktu yang sangat sepi bagi pemerintah untuk melakukan kajian lapangan. Namun akar dari permasalahn tersebut adalah amandemen ke I-V UUD 1945 yang memberikan kewenganan penuh pada DPR untuk membuat UU, Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah……. Op.Cit, Hal. 43.
[15] Haris, Syamsudin, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Ctk. LIPI Press, Jakarta, 2006, Hal. 9.
[16] Kompas, 16 Januari 2008.
[17] Ni’matul Huda, OTONOMI DAERAH : Filosofis, Sejarah Perkembangan dan Problemmatik, Ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal. 86.
[18] Ketidak efektifan kebijakan ini bisa dilihat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tanggal 10 Desember 2007 menandatangani PP No 78/2007. Pada tanggal yang sama, Presiden juga mengeluarkan amanat Presiden untuk 12 RUU pembentukan daerah baru yang sebelumnya diusulkan DPR menjadi RUU hak inisiatif. Ironisnya, DPR mengajukan lagi 15 RUU pembentukan daerah baru ke pemerintah pada hari yang sama diturunkan amanat presiden. Kompas, 16 Januari 2008. Lihat pula, kompas, 16 Desember 2009, Kompas, 2 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar